Kementerian Perdagangan berencana untuk melarang marketplace menjual barang impor dengan harga di bawah US$100 dolar atau setara Rp1,5 juta (kurs Rp15.008 per dolar AS). Kebijakan tersebut akan diimplementasikan melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa langkah tersebut diambil untuk melindungi produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal dari persaingan dengan barang impor di platform e-commerce. “Harga barang yang dijual harus memiliki batas minimal. Seharusnya barang seperti kecap saja tidak perlu diimpor,” ujar Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada Jumat (28/7) di Jakarta Selatan.
Dukungan juga datang dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM), Teten Masduki. Ia menegaskan bahwa produk UMKM lokal tidak boleh berbagi panggung dengan barang impor, terutama yang bisa diproduksi oleh pedagang lokal.
Wacana larangan produk impor dengan harga di bawah Rp1,5 juta ini muncul berawal dari fenomena “Project S TikTok” yang dicurigai dapat memata-matai kebiasaan penggunanya, termasuk dalam urusan belanja. Perusahaan asal China tersebut diduga akan memanfaatkan data pengguna TikTok untuk meminta UMKM di Tiongkok untuk membuat produk dan memasarkannya melalui TikTok Shop.
Namun, ada pertanyaan apakah larangan jual barang impor di bawah Rp1,5 juta di marketplace benar-benar akan melindungi produk UMKM. Menurut peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, barang impor di marketplace dapat dibedakan menjadi dua jenis: barang impor yang dijual oleh penjual luar negeri (cross border commerce) dan barang impor yang dijual oleh penjual lokal.
Kebijakan pelarangan impor di bawah Rp1,5 juta dianggap efektif bagi barang impor jenis pertama. Namun, untuk barang impor yang dijual oleh penjual lokal, kebijakan ini kurang efektif karena barang tersebut sudah berada di Indonesia dan memiliki porsi yang signifikan.
Oleh karena itu, Huda menyarankan agar pemerintah lebih baik menerapkan sistem insentif dan disinsentif. Sebagai contoh, biaya administrasi yang lebih tinggi dapat dikenakan pada produk impor, sementara produk lokal dapat diberikan diskon atau gratis ongkos. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa produk-produk lokal dapat bersaing di pasar.
Ronny P Sasmita, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, menyambut baik kebijakan larangan barang impor di bawah Rp1,5 juta karena produk UMKM lokal cenderung kalah saing dengan produk impor, terutama dari China yang memiliki harga lebih murah karena adanya subsidi ekspor dari negara tersebut.
Namun, Sasmita mempertanyakan alasan di balik penetapan harga batas tersebut, mengapa Rp1,5 juta? Banyak produk dalam negeri yang harganya di atas Rp1,5 juta yang juga memerlukan perlindungan dari pemerintah.
Selain itu, perlu dipertimbangkan bagaimana mengatasi kemungkinan penjual produk impor di bawah Rp1,5 juta yang mengubah strategi penjualan agar harganya naik di atas batas tersebut. Misalnya dengan membundling beberapa produk menjadi satu paket sehingga harganya melebihi Rp2 juta.
Oleh karena itu, Ronny menyarankan agar menteri perdagangan juga menyusun strategi untuk memastikan produk-produk lokal dapat berdaya saing di marketplace.
Di sisi lain, Muhammad Andri Perdana, Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa kebijakan pembatasan impor berdasarkan harga minimum Rp1,5 juta kurang tepat. Menurutnya, batasan yang lebih tepat adalah berdasarkan jenis dan klasifikasi produk impor tersebut, yaitu produk yang sudah banyak diproduksi oleh UMKM dalam negeri.
Perdana menekankan pentingnya pengawasan dalam pelaksanaan larangan tersebut dan mempertanyakan mekanisme yang akan digunakan oleh pemerintah untuk memastikan kepatuhannya.
Dalam menghadapi isu ini, pemerintah perlu melakukan pertimbangan yang matang untuk memastikan kebijakan yang diambil dapat benar-benar melindungi produk UMKM lokal dan mendorong pertumbuhan industri lokal di pasar e-commerce.