JAKARTA – Industri pengguna gas bumi mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap rencana kenaikan harga gas industri non-HGBT yang dijadwalkan mulai 1 Oktober 2023. Mereka memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Yustinus H. Gunawan, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), menyatakan bahwa jika PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) melanjutkan rencana penyesuaian harga tersebut, beberapa dampak potensial yang mungkin terjadi meliputi deindustrialisasi, penurunan penyerapan tenaga kerja, dan penurunan investasi.
“Ketika PGN memutuskan untuk menaikkan harga gas pada Oktober, daya saing industri kita akan terancam,” ungkap Yustinus.
Selain itu, Yustinus juga menyoroti potensi dampak lainnya, seperti penurunan pendapatan negara dari ekspor, penurunan penerimaan pajak, dan berkurangnya trickle down effect.
Dia menekankan bahwa industri manufaktur diharapkan meningkatkan konsumsi gas, terutama dengan operasionalnya Blok Masela dan Blok Warim. Sebagai solusi, Yustinus menyarankan pembatalan kenaikan harga dan penyesuaian alokasi gas industri tertentu (AGIT) PGN sesuai dengan aturan Kementerian ESDM No.91/2023.
“Jika kita membatalkan kenaikan harga dan meningkatkan AGIT PGN sesuai dengan aturan Kepmen ESDM, kita dapat mencegah deindustrialisasi,” tambahnya.
Yustinus juga mengingatkan bahwa industri manufaktur biasanya telah mempersiapkan diri untuk antisipasi kenaikan harga gas. Namun, perubahan dalam Keputusan Menteri ESDM No. 134.K/2021 menjadi Kepmen ESDM 91.K/2023, yang menetapkan harga jual gas menjadi US$6,5 – US$7 per MMBtu per Mei 2023, masih dalam batas yang dapat diterima.
“Meski ada kenaikan, industri masih dapat beradaptasi dengan melakukan penghematan dan meningkatkan nilai tambah produk,” pungkasnya.