Saat ini, pemerintah sedang berusaha merumuskan kriteria dan prosedur untuk melakukan penghapusan buku dan/atau tagih kredit bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Poin utama yang ditekankan adalah transparansi dalam menentukan penerima manfaat dari kebijakan relaksasi ini.
Penghapusan buku dan/atau tagih kredit ini didasarkan pada semangat memberikan akses pembiayaan sebanyak mungkin kepada UMKM, dan semangat ini diwujudkan melalui Undang-Undang No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Dalam Bab XIX yang membahas tentang Akses Pembiayaan UMKM, Pasal 250 mengatur bagaimana penanganan piutang macet. Di sini, bank atau non-bank milik negara (BUMN) diizinkan untuk menghapus buku dan tagih kredit, sehingga UMKM tersebut bisa kembali mengakses pembiayaan.
Namun, tidak semua UMKM akan mendapatkan manfaat dari penghapusan tagih. Piutang yang macet harus melalui restrukturisasi terlebih dahulu, dan penagihan harus dilakukan secara optimal. Jika penagihan tidak berhasil, maka piutang macet tersebut dapat dihapus.
Seleksi mengenai penghapusan kredit UMKM harus dilakukan secara transparan. UMKM berkontribusi sebanyak 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pasal 251 menyatakan bahwa jika bank atau non-bank BUMN mengalami kerugian akibat menghapus buku dan/atau tagih kredit, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab bank atau non-bank tersebut. Penting untuk dicatat bahwa kerugian tersebut bukanlah kerugian negara, dan pihak direksi yang melakukan penghapusan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa banyak peraturan turunan dari UU PPSK yang harus segera diterbitkan. Salah satunya adalah mengenai penghapusan buku dan/atau tagih kredit, yang saat ini sedang dikomunikasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa aturan ini bertujuan untuk mencerminkan konsep keadilan di sektor perbankan, khususnya untuk bank-bank milik negara. Mereka harus mengatasi persepsi bahwa penghapusan buku dan/atau tagih kredit UMKM akan merugikan negara.
Menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), isu tentang potensi kerugian negara dapat diatasi melalui pengaturan yang sesuai dan konsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dia menyatakan bahwa selama seleksi penghapusan buku dilakukan dengan transparan berdasarkan kriteria yang disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah, dan bank, maka tidak akan ada masalah.
Bhima juga menjelaskan bahwa penghapusan buku kredit UMKM harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, kredit tersebut sudah mengalami perpanjangan restrukturisasi tetapi tetap tidak dapat ditagih karena kondisi keuangan debitur UMKM. Kedua, kredit diberikan kepada usaha skala kecil yang terdampak pandemi dan masih kesulitan untuk pulih. Ketiga, debitur memiliki catatan pembayaran yang lancar sebelum pandemi. Keempat, biaya penagihan lebih besar daripada pokok pinjaman bagi bank.
Menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, penghapusan buku dan tagih yang dimaksud saat ini berlaku untuk kredit UMKM bermasalah yang ada di bank-bank milik negara. Sementara itu, untuk bank swasta, penghapusan buku dan tagih sudah diatur dalam peraturan OJK dan dapat dilakukan apabila bank tersebut menganggap perlu setelah mempertimbangkan kualitas kredit dan kecukupan provisi.
Mahendra menegaskan bahwa langkah-langkah penghapusan kredit harus dilakukan dengan bijak dan mempertimbangkan potensi moral hazard. Dia juga mengingatkan bank untuk memperkuat pencadangan dan memastikan tingkat permodalan yang memadai agar pemulihan ekonomi dapat berjalan lancar.
Berdasarkan data OJK, jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 mencapai Rp 361,04 triliun per Juni 2023, menurun dari Rp 372,07 triliun pada Mei 2023. Namun, masih ada 1,57 juta debitur UMKM yang belum pulih dari dampak pandemi.
Wakil Direktur Utama Bank Danamon, Honggo Widjojo Kangmasto, mengemukakan bahwa pihak di sektor perbankan cenderung menunggu aturan turunan dari UU PPSK sebelum mengambil langkah terkait penghapusan buku dan/atau tagih kredit UMKM. Dia menekankan perlunya kriteria dan mekanisme yang tepat untuk kredit UMKM yang pantas mendapatkan insentif penghapusan. Tidak semua portofolio harus dianggap layak, sehingga perlu waspada terhadap potensi moral hazard.