Jakarta – Simbol centang biru yang tadinya merupakan penanda keabsahan dari sebuah akun di platform media sosial, kini telah beralih fungsi menjadi simbol yang dapat diperoleh dengan biaya berlangganan. Fenomena ini mulai muncul beberapa tahun belakangan ini, merosotkan makna asli dari simbol yang seharusnya menjadi lencana keabsahan dan keotentikan ini.
Media sosial Twitter melalui layanan Twitter Blue, dan Meta (dahulu dikenal sebagai Facebook), bergerak menjual simbol ini kepada pengguna yang berkeinginan memiliki centang biru di akun mereka. Akan tetapi, kebijakan ini mendapatkan kritikan karena simbol ini berubah menjadi pajangan yang bisa diperoleh siapa saja, bukan lagi lambang eksklusif yang menunjukkan ‘keotentikan’ sesuatu.
Sebenarnya, ide penjualan simbol verifikasi ini dapat diragukan kebijakannya. Mengapa? Ada beberapa alasan yang menjelaskan potensi kerugian yang dapat terjadi pada platform tersebut.
Membuka Jendela untuk ‘Misinformasi’
Fitur berbayar ini memberikan ruang bagi akun-akun yang berlangganan untuk tampil paling atas di daftar komentar, balasan, feed, hingga pencarian. Namun, masalah muncul ketika akun dengan centang biru ini memberikan informasi yang menyesatkan atau pendapat yang menyinggung di kolom komentar.
Komentar-komentar tersebut akan dibaca oleh banyak pengguna dan beberapa di antara mereka mungkin akan mempercayai tulisan tersebut karena adanya ikon centang biru di profil pengguna tersebut. Hal ini menjadi risiko karena dapat dimanfaatkan oleh akun-akun palsu bercentang biru untuk menyebarkan misinformasi.
Pada akhirnya, akan sulit membedakan mana informasi yang menyesatkan dan mana yang berasal dari akun-akun resmi.
Perkembangan Akun-akun Palsu
Selain itu, ada risiko lainnya yaitu munculnya akun-akun bercentang biru yang mengatasnamakan orang atau merek tertentu.
Memang pengguna diharuskan menggunakan nama atau identitas asli saat berlangganan pada Meta Verified atau Twitter Blue, tetapi tidak ada jaminan bahwa akun-akun ini tidak akan berubah nama yang menyerupai orang atau figur publik tertentu.
Contoh yang bisa kita lihat adalah di Twitter, terdapat akun bercentang biru yang sangat mirip dengan akun milik Elon Musk. Meski disebutkan bahwa akun tersebut adalah parodi, foto dan header yang digunakan sama dengan Elon Musk.
Pengguna lain mungkin akan terkecoh jika tidak memperhatikan nama tampilan akun tersebut, karena akun ini memiliki centang biru dan ratusan ribu pengikut.
Hal ini tentunya menjadi masalah, karena akan sulit membedakan mana akun parodi, halaman penggemar, akun palsu dengan akun asli yang memiliki centang biru ‘asli’.
Peluang Modus Penipuan Baru
Masalah lain yang dapat ditimbulkan dari langganan centang biru ini adalah potensi munculnya modus penipuan baru.
Seperti yang telah dijelaskan di awal, centang biru masih erat kaitannya dengan akun resmi, baik itu pemerintahan atau selebriti.
Centang biru berbayar ini dapat dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengaku sebagai bagian dari organisasi atau individu resmi dan kemudian menjebak korban dengan jabatan tersebut.
Tidak hanya merugikan dari segi materi, modus penipuan ini juga dapat membahayakan nyawa korban apabila akun ‘penipu’ tersebut meminta untuk bertemu dengan korban secara langsung.
Dengan mempertimbangkan bahaya dari centang biru berbayar yang saat ini dilakukan oleh platform-platform populer, seharusnya tokoh seperti Elon Musk, Mark Zuckerberg dan yang lainnya mempertimbangkan ulang keputusan mereka untuk ‘memperjualbelikan’ fitur verifikasi ini.