Jakarta – Rupiah menunjukkan kekuatan dengan menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah munculnya hasil data ekonomi positif dari Jepang dan China. Data yang dirilis oleh Refinitiv menunjukkan Rupiah menguat sebesar 0,10% terhadap dolar AS, menjadikannya berada di level Rp 15.075/US$1. Angka ini berbanding terbalik dengan penutupan perdagangan Jumat sebelumnya yang melemah 0,63% dan ditutup di posisi Rp 15.090/US$1.
Penguatan Rupiah pada hari ini dapat ditelusuri dari rilis data ekonomi Jepang dan China yang memberikan angin segar bagi mata uang Indonesia. Jepang melaporkan pertumbuhan penjualan ritel sebesar 5,9% year on year (yoy) pada Juni 2023, mengalami peningkatan sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan 5,8% (yoy). Kinerja ini menunjukkan ekspansi perdagangan ritel selama 16 bulan berturut-turut karena konsumsi terus pulih dari dampak pandemi. Dengan penjualan ritel yang membaik, diharapkan permintaan impor, termasuk dari Indonesia, akan meningkat.
Selain itu, Jepang juga merilis indeks kepercayaan konsumen yang mengalami peningkatan menjadi 37,1 pada Juli 2023 dari angka 36,2 pada bulan sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2021, yang menunjukkan adanya pemulihan ekonomi dari gangguan pandemik.
Di sisi lain, Negeri China melaporkan data aktivitas manufaktur yang tercermin dalam Purchasing Manager’s Index (PMI). PMI Manufaktur NBS naik menjadi 49,3 pada Juli 2023 dari angka 49 pada Juni, sedikit melebihi perkiraan pasar sebesar 49,2. Meskipun PMI masih berada dalam zona kontraksi untuk keempat bulan beruntun, perbaikan angka ini diharapkan dapat meningkatkan impor China, termasuk untuk barang-barang dari luar negeri, termasuk Indonesia.
Dua negara, China dan Jepang, merupakan dua tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Membaiknya permintaan dalam negeri di kedua negara ini berpotensi membantu meningkatkan ekspor Indonesia.
Penyempurnaan ekspor juga berarti peningkatan pasokan dolar AS ke dalam pasar dalam negeri, yang berkontribusi pada penguatan Rupiah.
Di sisi lain, kekhawatiran masih terasa di pasar keuangan akibat kebijakan Bank Sentral AS (The Fed). Hal ini tercermin dari menurunnya arus modal (capital inflow) yang masuk pada pekan sebelumnya.
Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan net buy di pasar keuangan Indonesia menurun drastis sebesar Rp 700 miliar dalam periode 24-27 Juli. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan periode 17-20 Juli, di mana arus masuk mencapai Rp 4,67 triliun.
Selain itu, pada Selasa (1/8/2023), data inflasi Indonesia baik secara bulanan maupun tahunan akan dirilis.
Berdasarkan konsensus pasar yang kami kutip dari CNBC Indonesia, dari 10 institusi, inflasi Juli 2023 diperkirakan mencapai 0,21% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm), sedangkan inflasi bulanan pada Mei tercatat sebesar 0,14%.
Hasil polling juga memproyeksikan inflasi (year on year/yoy) mencapai 3,08% pada bulan ini. Sementara inflasi inti (yoy) diperkirakan berada pada angka 2,50%.
Berdasarkan data sebelumnya, inflasi tahunan pada bulan ini diharapkan akan melandai, hal ini dikarenakan efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada September tahun lalu semakin mereda.